Kamis, 10 November 2011

try to be comentator

Ini adalah tugas mata kuliah filsafat sejarah, dimana kita, para mahasiswa S1. Pend Sejarah 2010 Universitas Negeri Surabaya, diperintah untuk memberikan komentar pada salah satu kelompok, yang memprogram mata kuliah ini, yang telah melakukan presentasi mulai dari awal pertemuan sampai presentasi kemarin. Berikut komentar saya kepada kelompok 2:

Presentasi kelompok 24 cukup baik. Slide yang ditampilkan cukup bagus, walaupun sebenarnya sedikit kurang menarik perhatian, kurang eye catching. Tapi walaupun demikian saya tetap berikan applause kepada mereka. Hanya saja disini saya akan sedikit menambahkan jawaban pada petanyaan “Apakah yg menjadikan Hegel dan Marx terpicu untuk membuat filsafat sosial-komunis?”. Jawaban saya: Marx, sebagai salah seorang murid Hegel, sangat dipengaruhi oleh Hegenalisme. Sejak kecil, ia tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Selama duduk di bangku kuliah ia mempelajari tentang kemanusiaan serta filsafat dan hukum Hegenalisme.

Itulah sebabnya mengapa Marx membuat filsafat sosial-komunis, karena ia memandang sosialisme sebagai sebuah transisi perubahan dari kapitalisme menuju ke komunisme.

Itulah sedikit komentar dari saya, kalian sudah cukup baik dalam presentasi. Tingkatkan terus kreatifitas dan semangat belajarmu untuk menyongsong masa depan….
(^_^)

Minggu, 06 November 2011

filsafat sejarah



Khusnul Khotimatuz Zuhriyah
104284030 (A)
S1. Pend. Sejarah 2010
Universitas Negeri Surabaya


I.            Filsafat Sejarah Menurut F.R. Ankersmit
Pada dasarnya  filsafat sejarah adalah bagian dari ilmu filsafat. F.R. Ankersmit mengatakan bahwa filsafat sejarah sebagai bagian dari bidang filsafat berkaitan dengan masalah perenungan, bersifat spekulatif, menjawab pertanyaan dalam dalam proses sejarah. Menurut F.R. Ankersmit, filsafat sejarah memiliki tiga unsur yang saling berhubungan, namun masing-masing memiliki permasalahan sendiri. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh filsafat sejarah yang bersifat deskriptif, yang ditulis adalah kesohoran peristiwa sejarah, ciri karya penulis, dan dapatkah kita menemukan evolusi dalam cara ahli menggambarkan masa silam. Filsafat sejarah ini dinamakan sejarah penulisan sejarah atau singkatnya historiografi. Namun historiografi sering lebih dipandang sebagai suatu pengkajian sendiri dalam ilmu sejarah maka jarang sekali bku filsafat sejarah yang memberikan ruang dalam  bkunya untuk membahas historigrafi.
Kedua, filsafat sejarah spekulatif berdasar arti pertama; seorang filsafat sejarah yang spekulatif harus memandang arus sejarah faktual dalam kesseluruhannya dan berusaha untuk untuk menemukan suatu strurktur dasar dalam arus itu. Ketiga, filsafat sejarah kritis berdasarkan arti kedua kata sejarah dan meneliti  sebagai obyeknya bagaimana masa silam dilukiskan atau digambarkan. Filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Hubungan filsafat sejarah kritis dengan pengkajian sejarah sama dengan filsafat ilmu dan ilmu. Keduanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan ilmu pengetahuan terjadi dan bagaimana  prose situ dapat dibnarkan, entah menurut arti umum atau formal.
Pada hakikatnya, filsafat sejarah itu termasuk unsur dari kebudayaan yang dimiliki oleh peradaban yang mendukungnya. Artinya paralelisme antara filsafat sejarah dengan kebudayaan yang melingkupinya, jelas sekali menampilkan adanya daya tarik cultural suatu filsafat sejarah. Filsafat sejarah adalah interdisipliner. Sebagai suatu disiplin yang mengandung aspek epistemologis dan metafisika agar dapat memahami dan memberikan arti pada empiris sejarah.  Filsafat sejarah merupakan pengetahuan yang mempelajari tentang masalah-masalah yang lazim disebut the big question. Masalah-masalah besar itu antara lain mengenai pengertian filsafat sejarah spekulatif dan kritis, sejarah sebagai masa silam, warisan historisme, fakta sebagai dasar pengkajian sejarah, eksplanasi sejarah, pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan subyektivitas dan obyektivitas dalam pengkajian sejarah filsafat sejarah ingin member jawaban dan alas an atas segala peristiwa sejarah, ingin menyelidiki sebab-sebab terakhir dari suatu peristiwa apa sebenarnya dibalik fakta itu. Filsafat sejarah mencari kejelasan dan berusaha masuk dalam pikiran dan cita-cita manusia, sehingga dapat memberi keterangan tentang pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran yang dialami negara-negara dalam panggung sejarah ini.
Hakikat sejarah adalah sebagai ilmu yang mandiri, artinya memiliki filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri. Sehingga sejarah sebagai sebuah ilmu memiliki teori sendiri dalam mengkaji sejarah. Teori sejarah itu sendiri berperan dalam penyusunan kembali kepingan-kepingan masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya.

II.            Filsafat sejarah spekulatif
Filsafat sejrah spekulatif merupakan unsur kedua dalam filsafat sejarah. Pemahaman filsafat sejarah spekulatif adalah mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah keseluruhannya. Filsafat sejarah berkaitan dengan suatu perenunganfilsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat proses sejarah. Dalam filsafat sejarah spekulatif biasanya, ada tiga macam pertanyaan yang perlu dijawab:
1)      Irama atau pola macam apakah yang dapat diamati dalam proses sejarah?
2)      Manakah motor yang menggerakkan proses sejarah?
3)      Apakah sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah?
Proses sejarah dalam tinjauan akhir tidak hanya membahas masa sekarang melainkan juga apa yang masih harus terjadi. Hal ini berarti filsafat sejarah membahas pula masalah prediksi, masalah masa depan. Proses sejarah dalam garapan konsep spekulatif dapat dikaitkan dengan gagasan untuk sejarah dunia atau universal.
Filsafat sejarah ala Marx dibedakan tiga tahap, yakni tahap primitif, tahap abad pertengahan dan dunia borjuis-kapitalis menurut Marx. Menuurut Marx motornya adalah pertentangan kelas, dan tujuannya ialah masyarakat tanpa kelas. Ia lebih mencurahkan perhatian kepada motor proses sejarah.
Filsafat sejarah kritis sebagai unsur ketiga dalam sejarah, filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Kaitan filsafat sejarah kritis dengan pengkajian sejarah sama dengan filsafat ilmu dan ilmu. Keduanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan ilmu pengetahuan terjadi dan bagaimana  proses itu dapat dibenarkan dari sudut pandang keilmuwan.

III.            Pemikiran Filsafat Sejarah
Filsafat Sejarah Hegel
Filsafat sejarah formal ala Hegel, penegertian pokonya ialah budi. Budi aktif dalam dua bidang. Pertama, sebagai Roh Obyektif. Budi menguasai hal-hal dalam kenyataan obyektif. Kenyataan itu memperlihatkan tata tertib dan keteraturan dan oleh karena itu, rupanya menaati beberapa kaidah atau prinsip rasional. Dalam hubungan ini Hegel sering mempergunakan istilah “Geist an sich”. Kedua, manusia sebagai subyek yang mengetahui, yang mampu mengetahui dirinya dan dengan mempergunakan budi dapat mencari jalan ditengah-tengah kenyataan. Terdapat keserasian antara alam pikiran kita dengan kenyataan. Bidang kedua yang dikuasai budi ala Hegel ini disebut “Roh Subyektif” atau “Geist fur Sich”. Dimensi sejarah merupakan jantung filsafat Hegel.
Hegel selalu mengaitkan pengertian keharusan dengan budi, suatu pengertian yang didasarkan pada budi merupakan pengertian bagaimana seharusnya kenyataan itu terwujud. Karna kenyataan didasarkan atas kaidah-kaidah rasional maka niscaya terwujud seperti didektekan akal budi. Dalam sejarah, budilah yang mendorong roh subyektif dari satu tahap menuju tahap lain yang lebih tinggi, dengan kata lain budi memberi bentuk kepada proses sejarah. Budi mengajarkan kita bagaimana harus berpikir, yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah rasional, tetapi tidak mengenai apa (isinya) yang kita pikirkan. Dalam filsafat Hegel, unsur formal hampir tak dapat dipisahkan dari unsur material.
Mengenai penulisan sejarah secara filsafati, Hegel menulis “….Gagasan pokok yang dihasilkan oleh akal budi ialah sebuah gagasan yang amat sederhana, yakni bahwa budi menguasai dunia, sehingga segala sesuatau yang terjadi dalam sejaah dunia terjadi menurut akal budi”.
Filsafat Sejarah Leopold von Ranke (1795-1886)
Leopold von Ranke mengembangkan gagasan pokok historisme. Titik pangkal dan dasar teori ide-ide historistis adalah hakikat obyek-obyek atau gejal-gejala searah terwujud dalam deskripsi historis mengenai obyek-obyek atau gejala-gejala itu. Menurut von Ranke dan von Humboldt, hanya terdapat satu jalan untuk mengetahui dan memahami masa silam, yakni dengan meneliti dan menafsirkan secermat mungkin sumber-sumber sejarah  yang tak terbilang jumlahnya. Menurut Ranke, sejarah dan filsafat bertolak belakang. Filsafat berpangkal pada abstraksi-abstraksi menuju kenyataan historis, lalu lambat laun berusaha untuk memperoleh pengertian-pengertian umum yang tidak selalu berhasil.
CLM (Covering Law Model)
Dalam teori CLM untuk mengungkap peristiwa sejarah, menggunakan metode-metode yang digunakan ilmu pengetahuan. Supaya CLM dapat kita tafsirkan dengan tepat, maka perlu dipertimbangkan sebagai berikut:
a.       Skema penalaran CLM diasalkan logika formal dan terkenal sebagai kaidah modus ponens.
b.      Semua pola hokum yang muncul pada premis pertama, harus dikonfirmasikan oleh semua fakta yang kita kenal dan relevan, atau sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan fakta itu.
c.       Pola hokum selalu mengungkapkan, bahwa suatu peristiwa tertentu (sebab) disusul oleh suatu jenis peritiwa yang lain (akibat).
d.      CLM membuka jalan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa, sejauh peristiwa itu termasuk satu jenis peristiwa tertentu.
e.       Dalam CLM, tidak dikatakan apapun mengenai kedudukan si juru penerang, dalam arus waktu terhadap peristiwa yang diterangkan.
f.       Kemudian kita harus mencatat sesuatu mengenai sifat dan jangkauan pola-pola hukum  yang dipergunakan dalam CLM.
g.      Jangkauan pola hokum yang dipergunakan dalam modul CLM oleh W.H. dray dan M. Mandelbaum, dibatasi lagi.
h.      Hempel melihat bahwa ahli sejarah jarang atau tidak pernah emberikan keterangan-keterangan yang seratus persen serasi dengan syarat-syarat CLM.
CLM sebagai modul keterangan, mengandung banyak factor positif. Modul ini jelas dan sederhana, dan oleh karena itu merupakan titik pangkal yang tepat bagi diskusi-diskusi mengenai keterangan historis. Asalnya dari ilmu eksakta lebih jelas bentuknya dan diuji dengan lebih mendalam daripada metode penelitian dalam ilmu sejarah, maka CLM membantu tugas seorang filsuf sejarah.
Filsafat Sejarah Coolingwood (1889-1943)
Coolingwood adalah seorang hermeneutis klasik. Ia memiliki tujuan membantah skeptisisme, sejauh skeptisisme itu berdasarkan pandangan, bahwa kita tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai masa silam yang dapat diandalkan, karena kita tidak lagi mengalami masa silam itu. Jawaban Coolingwood ialah bahwa masa silam dapat diulangi kembali dalam batin kita, sehingga pengetahuan berdasarkan pengalaman mengenai masa silam tidak mustahil.
Hermeneutika yang dikembangkan oleh Collingwood, jelas dan sederhana. Menurutnya, seorang sejarawan tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriyah obyek penelitiannya , melainkan juga dengan batin kelakuan mereka. Ia berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran. Ia menggarisbawahi, bahwa “re-enactment” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang dapat dikontrol. Si peneliti sejarah tidak menghapus dirinya sendiri, lalu menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. “re-enactment” merupakan suatu proses yang payah dan panjang, peneliti sejarah maju langkah demi langkah, berdasarkan pengetahuannya mengenai masa silam dan keadaan yang bersangkutan, lalu dalam batinnya sendiri mengulaing pikiran si tokoh sejarah. Tetapi, peneliti sejarah selalu sadar, bahwa “re-enactment” terjadi dalam batinnya sendiri, sehinnga tidak terjadi identifikasi total antara peneliti sejarah dan tokoh sejarah. Peneliti sejarah hendaknya selalu imajinatif, harus pandai mengadakan ekstrapolasi dan intrapolasi menurut pengalaman sendiri, tetapi “re-enactment” itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik sejarah dan juga dapatb dinilainya.

IV.            Subyektivitas dan Obyektivitas Dalam Sejarah.
Ankersmit berpendapat, bahwa sebuah pelukisan sejarah dapat disebut subyektif, apabila subyek yang tahu yakni sejarawan sendiri, jelas hadir didalamnya. Salah satu cara suatu penulisan sejarah dapat bersifat subyektif, apabila si sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan.
Menurut W. Poespoprodjo, konsep subyektivisme berkaitan dengan sikap seseorang terhadap sesuatu, biasa didasarkan atas persepsi atau kesan seseorang terhadap sesuatu tadi. Sedangkaan persepsi seseorang terhadap sesuatu merupakan hasil pemikiran sendiri di samping dapat pula merupakan warisan “rokhani” yang dilanjutkan tanpa komentar. Menurutnya, apa yang dikonsepsikan tentag subjektivitas dalam pengkajian sejarah adalah hal-hal yang berhubungan dengan subjek yang betul-betul halal tidak dipalsukan, diberi juga pengertian yang identik dengan subjektivisme dimana asasnya subjek dipisahkan dari objek.
Louis Gottschalk menyatakan bahwa sebenarnya sejarawan tidak menangkap obyek. Yakni hal-hal yang pernah nyata terjadi pada masa silam, tetapi hanya menangkap idea dari hal-hal yang pernah nyata pada masa silam. Idea itu terdapat dalam diri manusia, jadi idea merupak hal yang subyektif.
Penyusun sejarah entah itu sejarawan atau non sejarawan disebut subyek. Obyektivitas adalah upaya untuk mewujudkan kebenaran obyek. Sejaarawan berusaha menyusun sejarah seobyektif mungkin, akan tetapi bagaimanapun obyektivitas diusahakan, obyektivitas itu akan tenggelam dalam subyektivitas, sebab untuk dijadikan sejarah, obyek itu harus ditafsirkan oleh subyek. Obyek sejrah harus ditafsirkan ddan dianalisa secara kritis.
Menurut Jan Romein kenyataan yang obyektif dalam sejarah secara keseluruhan tak mungkin kita ketahui. Kita hanya mengenalinya dari satu perspektif tertentu, dan perspektif itu selalu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat kita hidup. Obyektivitas dan kepastian sejarah hanya bisa kita capai apabila  dalam berfilsafat menentukan jiwa jaman yang megandung benih-benih masa depan. Baru setalah itu kita dapat memulai menulis dengan sejarah yang obyektif. Yang perlu kita sadari bahwa interpretasi itu datang dari nilai-nilai yang dianut sejarawan, sehingga sifat-sifat relatifnya akan tetap ada. Maka obyektivitas yang terdapat dalm sejarah adalah obyektif yang bersifat tidak mutlak, sejarah tetap memerlukan hipotesa nilai.
Interpretasi merupakan salah satu bagian dari metode penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sejarah sebagai sebuah kumpulan sebab-sebab mengandung banyak faktor penentu terjadinya pristiwa sejarah. Sehingga, interpretasi digunakan dengan membandingkan data yang ada guna menyingkap alasan mengapa terjadinya satu peristiwa sejarah di masa lampau. Penafsiran atau interpretasi dilakukan terhadap sumber-sumber yang ditemukan. Dalam melakukan penafsiran, peneliti sejarah (sejarawan) melakukan analisis sesuai dengan fokus penelitiannya. penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas sama sekali dari unsur subjektivitas penulisnya. Subjektivitas terjadi disebabkan penulis sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber yang ia temukan. Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi yang berbeda. Apabila hal ini terjadi, dalam penelitian sejarah sah-sah saja dan dibenarkan, asalkan peneliti menggunakan sumber yang valid.

Sumber:
Ankersmit, F.R. 1985. Denken Over Geschiedenis. Een overzicht van modern geschiedfilosofiche opvattingen. Diindonesiakn oleh Dick Hartoko, Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Sundoro, Hadi. 2009. Teka-teki Sejarah. Berbagai Persoalan tentang Filsafat Sejarah. Jember: Jember University Pers.