BAB II
PEMBAHASAN
MOJOPUROGEDE BUNGAH GRESIK
2.1. Letak Geografis
Desa Mojopurogede terletak di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Dengan luas wilayah desa ± 329.810 Ha, dan luas wilayah makam ±26.060 m2. Desa Mojopurogede merupakan wilayah dataran rendah yang terletak pada ketinggian ± 15,5 m dari permukaan air laut dengan suhu rata-rata 27 oC – 31 oC.
Desa ini teletak 7 km dari pemerinntahan Kecamatan Bungah, 20 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Gresik, dan 35 km dari pusat pemerintahan provinsi Jawa Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Padang Bandung, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lamongan yang dipisahkan dengan Sungai Bengawan Solo, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sidomukti, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Mojopurowetan.
2.2. Demografi
Desa Mojopurogede di huni oleh 4133 orang, 2063 laki-laki dan 2097 wanita, dari 1092 kepala keluarga. Dan seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia asli.
2.3. Sejarah
Asal usul nama Desa Mojopurogede terdiri dari tiga kata, yaitu mojo, puro, dan gede. Mojo berarti buah maja yang pahit, karena lidah orang jawa maka disebut mojo. Puro yang berarti tanda, batas, atau tugu. Dan gede (Bahasa Jawa) yang berarti besar, karena desa ini terdapat pohon maja yang besar. Sehingga jika diartikan secara keseluruhan Mojopurogede berarti ada sebuah pohon maja yang besar dan berada disamping gapura. Ada juga yang mengatakan bahwa Mojopurogede berarti memuja di pura yang besar, karena dahulu sebelum Islam desa ini sudah dihuni penduduk yang beragama Hindu dan merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Hal ini di buktikan dengan ditemukannya Arca Dwarapala di Desa Mojopurowetan yang dahulu satu desa dengan Desa Mojopurogede.
Desa Mojopurogede terbagi menjadi enam dukuhan yang masing-masing memiliki sejarah. Keenam dukuhan tersebut yaitu:
2.3.1 Kaweden
Pada zaman dahulu ada seorang pelancong cina yang bernama Dampu Awang. Ia hendak datang ke Kerajaan Siliwangi dengan maksud meminta bibit padi untuk kemudian ditanam. Namun sesampainya di Siliwangi permintaan Dampu Awang ditolak oleh Raja Siliwangi dengan alasan akan ditanam sendiri oleh Kerajaan Siliwangi. Karena itu Dampu Awang kembali pulang dengan kecewa dan dalam hatinya tersirat dendam. Untuk membalaskan dendamnya, Dampu Awang pergi ke sebuah bukit unuk mencari kesaktian, setelah beberapa waktu ia memperoleh sebuah kipas ajaib.
Dampu Awang pun siap untuk membalaskan dendamnya, ia kembali ke kerajaan Siliwangi lalu mengibaskan kipasnya pada tanaman padi yang ada di Kerajaan Siliwangi. Tanaman padi pun rusak dan Kerajaan Siliwangi gagal panen. Karena takut dikejar prajurit kerajaan, Dampu Awan segera memasang layar pada perahunya dan mengayuh dayung perahunya dengan kencang tanpa tujuan pasti. Akhirnya Dampu Awang berlabuh di sebuah tempat yang dan meninggal disana. Kemudian tempat itu dinamakan oleh penduduk setempat dengan Kaweden yang artinya ketakutan.
Sampai saat ini makam Dampu Awang masih dirwat dengan baik oleh penduduk sekitar.
2.3.2 Bangun Rejo
Sebelum tahun !980-an dusun ini disebut Tawing, karena terdapat jenazah yang terdampar dan terjepit dalam bebatuan. Jenazah tersebut diduga berasal dari Cina. Karena kesulitan untuk mengambilnya, jenazah itu dibiarkan saja dan tertimbun tanah serta ditumbuhi rerumputan. Sehingga batunya diberi nama Tawing. Diduga nama Tawing merupakan nama dari jenazah tersebut. Batu Tawing ini semakin tahun semakin membesar dan jenazah tersebut semakin terjepit.
Penduduk menganggap bahwa jenazah tersebut menjadi penunggu sang batu Tawing. Dan mereka mempercayai bahwa siapapun yang hendak mengambil batu atau rumput distu tanpa izin maka akan sakit bahkan meninggal dunia. Meraka takut dan tidak mau tinggal di sekitar batu tersebut. Kemudian setelah tahun 1980-an oleh Kepala Desa Mojopurogede yang keempat yaitu bapak Mu’alim, nama Tawing diganti menjadi Bangun Rejo agar masyarakatnya bisa membangun kedamaian dan terhindar dari ketakutan yang berlarut-larut, sehingga daerah tersebut menjadi ramai kembali.
2.3.3 Jeraganan
Nama Jeraganan berasal dari kata Jeragan. Pada zaman dahulu ada saudagar kaya raya dan tampan dari Sangkapura atau Bawean yang bernama Raden Zaini, ia adalah seorang juragan (dalam Bahasa Jawa Jeragan). Ia berlabuh di Dusun Pinggiran (sekarang Kening) dengan maksud ingin meminta api kerumah penduduk untuk menyalakan uplik. Kebetulan yang dimintai uplik saat itu adalah ibunda putri conia yang sakti. Ibunda Putri Conia memberikan bara api pada Raden Zaini, Raden menerima bara pai tersebut dengan tangan kosong. Melihat itu Ibunda Conia merasa takjub dan berniat untuk menikahkan Sang Saudagar dengan putrinya yang bernama Conia. Namun ia malu untuk mengatakannya langsung.
Akhirnya setelah Raden Zaini meninggalkan rumahnya, ibunda Conia mengikatkan selendangnya pada tiang rumahnya dengan membacakan mantera untuk menikat Raden Zaini agar kembali kerumahnya. Dengan kuasa Allah, tatkala Raden Zaini hendak meninggalkan tempat itu, kapalnya tidak bisa berjalan dan Raden Zaini pun kembali ke rumah Conia. Saat kembali ke rumah Conia, Raden Zaini melihat putri Conia yang cantik jelita dan seketika itu ia jatuh cinta pada Conia. Raden Zaini pun melamar Conia untuk menjadi istrinya. Dan mereka pun menikah dan menetap di sebuah tempat yang sekarang menjadi Dusun Jeraganan. Mereka dikaruniai seorang putra, namun belum sempat anak itu menikah sang anak sudah meninggal dan terputuslah riwayat keduanya. Mereka dimakamkan disitu dan sampai sekarang makamnya masih terawat dengan baik. Kekayaan Raden Zaini dikuburkan disekitar makamnya. Konon katanya, siapa saja yang tinggal di Dusun Jeraganan tidak akan bisa memliki kekayaan melebihi kekayaan Raden Zaini.
2.3.4 Kening
Dahulu dusun ini disebut Pinggiran karena letaknya berada di pinggir Bengawan Solo. Dusun ini terkenal dengan tempat santri karena terdapat pesantren yang di asuh oleh Kyai Marzuki. Alkisah, suatu hari ada seorang santri Kyai yang terserang penyakit gatal-gatal yang tak kunjung sembuh. Sebut saja ia Joko Gudik, ia dikucilkan oleh teman-temannya dan malu untuk bertemu dengan orang lain. Suatu ketika ia hilang kesabaran, dan Joko Gudik memutuskan untuk menemui Kyai Marzuki untuk meminta pada sang Kyai agar dijadikan apa saja asal bisa mengabdi kepada Allah. Sang Kyai pun menyanggupi, lalu Joko Gudik diminta untuk masuk ke dalam sumur dibelakang rumah Kyai Marzuki untuk bertapa.
Setelah beberapa lama, terjadilah banjir besar dan sumur itu pun terendam banjir. Saat itu Kyai Marzuki teringat dengan santrinya yang ada dalam sumur, lalu Kyai mencari Joko Gudik. Kyai Marzuki melihat seekor buaya kuning disekitar sumur itu. Lalu Kyai berkata “Jika benar engkau adalah santriku, maka serahkan ekormu untuk dipotong sebagai tanda bahwa engkau adalah santriku”. Karena taatnya pada Kyai Marzuki Joko Gudik, yang telah menjadi buaya, memberikan ekornya. Dan Kyai Marzuki berpesan padanya agar tidak memakan manusia. Sejak saat itu dusun tersebut diganti namanya dengan Dusun Kening, berasal dari kata kuning. Jika terjadi banjir besar biasanya Buaya Kuning akan menampakkan dirinya di sekitar rumah Kyai Marzuki.
Makam Kyai Marzuki terdapat di belakang masjid Asy-Syahidin, tempat beliau berdakwah.
2.3.5 Kalitebon
Dusun ini dinamakan Kalitebon karena zaman dahulu, penduduk membuat lubangan (kali) sebagai aliran air untuk memenuhi kebutuhan mereka. Khususnya untuk menyiram tanman jagung disekitar kali tersebut. Seusai panen, batang jagung yang dalam Bahasa Jawa disebut Tebon,banyak berserakan di kali. Sehingga oleh penduduk disebutlah dusun itu Kalitebon. Yang dimaksudkan kali yang banyak terdapat tebon (batang jagung). Sampai saat ini kali tersebut masih ada.
2.3.6 Pelampang
Dusun pelampang ini terletak paling selatan Desa Mojopurogede. Penduduknya sangat sedikit karena wilayahnya yang sempit tergerus arus Sungai Bengawan Solo. Meskipun masyarakatnya sedikit konon ceritanya, mereka tidak bisa hidup dengan rukun dan mudah bertengkar baik itu dengan saudaranya sendiri. Dan orang Jawa mengatakan “wong kene iki mampang-mampang” (mokong). Sehingga dusunnya disebutlah sebagai Dusun Pelampang.
2.4 Perkembangan Desa Mojopurogede
Desa Mojopurogede pada awalnya merupakan bagian dari Desa Mojopurowetan, namun karena wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang banyak sehingga berdirilah Desa Mojopurogede. Hal ini dialkukan untuk memudahkan aparat desa dalam mengatur penduduk.
Desa ini mengalami lima kali pergantian kepala desa yaitu Abdul Qohar (sampai 1937), Marsam (1973-1945), Muhammad (1945-1955), Mu’alim (1955-1991), Drs. H. Muh. Misnan (1991-2007), dan M. Nasih, S.Pd. (2007 sampai sekarang).
Pada awal perkembangannya desa ini merupakan desa yang cukup tertinggal. Namun seiring dengan perkembangan jaman, bertambahnya pengetahuan, dan kemajuan teknologi, desa ini semakin berkembang. Aparat Desa Mojopurogede selalu meningkatkan prasarana guna mensejahterakan warganya, diantaranya:
ÿ Pemerintahan
Yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan Desa Mojopurogede adalah tersedianya kantor desa, aula, balai desa, serta kantor-kantor masing-masing lembaga yang ada di Desa Mojopurogede.
ÿ Pendidikan
Penyelanggaraan pendidikan di Desa Mojopurogede dari tingkat PADU, TK, SD/MI, SLTP/MTS,dan SMU/MA. Selain itu juga terdapat tiga Pondok Pesantren. Untuk menunjang pendidikan, Desa Mojopurogede juga memiliki satu panti asuhan yang akan merawat dan menanggung semua biaya anak-anak yang kurang mampu. Panti asuhan ini juga mendidik anak asuhnya agar menjadi anak yang mandiri dengan memberikan bekal pendidikan agam dan keterampilan.
ÿ Kesehatan
Untuk meningkatkan kesehatan Masyarakat Desa Mojopurogede, terdapat poliklinik desa (Polides). Bagi masyarakat yang kurang mampu akan mendapat kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
ÿ Perhubungan
Untuk menunjang transportasi dan perekonomian warga, terdapat jalan desa, tambangan (seperti peabuhan mini), jasa angkutan, dan lain-lain.
ÿ Keagamaan
Dalam rangka meningkatkan kegiatan keagamaan, Desa Mojopurogede memiliki lima masjid dan enam belas mushollah.
2.5 Kebudayaan
Dalam hidupnya manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dari interaksi ini maka akan terlahirlah sebuah kebudayaan. Secara universal terdapat tujuh unsur kebudayaan yaitu:
2.5.1 Bahasa
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Mojopurogede tergolong Bahasa Arek, hampir sama seperti bahasa arek-arek Surabaya. Namun terhadap orang yang lebih tua mereka menggunakan bahasa ngoko lugu.
2.5.2 Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Desa Mojopurogede cenderung beragam. Diantaranya:
Ü Petani, terdapat kurang lebih 839 orang. Yang terdiri petani padi dan petani tambak.
Ü Buruh Tani, kurang lebih 472 orang.
Ü Buruh Pabrik, kurang lebih 152 orang.
Ü Karyawan/ Pegawai Negeri/ ABRI, kurang lebih 34 orang.
Ü Pengrajin, kurang lebih 39 orang. Pengrajin ini biasanya adalah pengrajin mebel yang mengolah kayu menjadi barang-barang rumah tangga.
Ü Pedagang, kurang lebih 228 orang.
Ü Peternak, kurang lebih 163 orang. Seperti kambing, ayam dan sapi.
Ü Jasa, kurang lebih 59 orang.
Ü Pemulung, terdapat sekitar 5 orang.
Ü Tukang kayu ada 15 orang.
Ü Tukang batu ada 20 orang.
Ü Tukang jahit, 13 orang.
Ü Pensiunan, 12 orang.
Ü Nelayan, 19 orang.
Ü Dan Guru swasta terdapat 58 orang.
2.5.3 Sistem Teknologi
Teknologi yang dimiliki masyarakat Mojopurogede saat ini cenderung modern. Namun terkadang mereka juga menggunakan cara tradisional misalnya:
1. Alat-alat Produktif
ÿ Untuk membajak sawah dengan teknologi tradisional mereka menggunakan kerbau. Untuk teknologi modern mereka membajak sawah dengan menggunakan traktor.
ÿ Untuk melubangi tanah yang akan ditanami bibit jagung yaitu dengan menggunakan ceblok, yaitu alat dari kayu yang bentuknya seperti alu pada pemukul lesung.
ÿ Untuk menangkap ikan disungai dengan menggunakan jala dan jaring ikan.
ÿ Untuk menghaluskan bahan baku masakan, ibu-ibu rumah tangga sudah menggunakan alat modern seperti blender. Namun masih ada juga yang menggunnakan alat tradisional seperti lumpang dan alu untuk menghaluskan kopi, cowek dan ulek-ulek untuk menghaluskan bumbu dan sambal.
2. Pakaian
Dalam hal berpakaian, mereka sudah mengenal gaya. Biasanya mengolah bahan setengah jadi yang berupa kain untuk kemudian siap dipakai menjadi pakaian.
3. Senjata
Senjata yang warga Mojopurogede gunakan tidak jauh beda dengan warga desa lain. Misalnya:
ÿ Golok untuk memotong hewan.
ÿ Arit atau sabit untuk memotong rumput.
ÿ Pisau untuk menguliti hewan atau juga untuk memotong bahan-bahan masakan.
ÿ Gergaji untuk memotong kayu.
ÿ Senapan angin untuk berburu.
4. Wadah
ÿ Untuk menyimpan air beberapa warga masih menggunakan genok (gentong air dari tanah liat). Namun ada juga yang menggunakan gentong plastik, karena lebih mudah didapat dan harganya pun jauh lebih murah. Ada juga yang menyimpan air di kola (terbuat dari semen).
ÿ Untuk menyimpan beras mereka juga masih mengguanakan alat yang tradisional yaitu daringan (seperti genuk, namun ukurannya lebih kecil). Ada juga yang menyimpan beras dalam gentong plastik berukuran kecil. Ada juga yang menyimpannya dalam karung-karung.
5. Alat Transportasi
Alat transportasi yang digunakan masyarakat Mojopurogede sudah mengikuti perkembangan zaman. Mereka sudah menggunakan motor dan beberapa telah memiliki mobil. Hampir setiap keluarga yang ada di Desa Mojopurogede memiliki motor sebagai alat transportasi. Terkedang mereka juga memakai sepeda sebagai kendaraan pergi ke sawah.
2.5.4 Organisasi Sosial
Setiap manusia selalu hidup bermasyarakat dan kehidupannya di organisasi diatur oleh aturan-aturan adat-istiadat mengenai berbagai macam kesatuan dalam lingkungan, tempat dimana ia tinggal dan bergaul. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kesatuan kekerabatan.
Sistem kekerabatan yang umum digunakan di Desa Mojopurogede adalah sistem bilineal, yaitu prinsip menghitung hubungan keturunan melalui kerabat pria dan wanita.
Kerabat terbentuk melalui perkawinan, karena melalui perkawinan akan menghasilkan keturunan yang akan meneruskan suatu generasi. Di Desa Mojopurogede pernikahan sudah dibebaskan dalam artian boleh menikahi siapapun sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun terdapat satu keturunan ,yaitu warga Mojopurogede yang masih memiliki keturunan dengan warga asli Desa Padang, yang tidak bleh menikah dengan warga Desa Masangan (masih diwilayah Kecamatan Bungah).
Selain hubungan kekerabatan terdapat juga hubungan organisasi lain yaitu:
ÿ Organisasi Keagamaan meliputi
ÿ Organisasi Karang Taruna (remaja desa)
ÿ Organisasi Ibu-Ibu PKK
ÿ Dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya.
2.5.5 Sistem Pengetahuan
Pengetahuan yang masyarakat Mojopurogede miliki sangat beragam, dalam hal pengobatan misalnya Selain obat-obatan medis, mereka juga mengetahui obat tradisional dari tumbuhan dan binatang. Dari tumbuhan misalnya:
· Daun delima putih direbus untuk mengobati diare.
· Daun meniran direbus untuk mengobati kencing manis.
· Daun kejibeling direbus untuk mengobati batu ginjal.
· Perasan jeruk nipis yang dicampur kecap dapat mengobati batuk, yaitu dengan cara diminum.
· Getah pohon pisang yang masih muda untuk mengobati luka bakar, yaitu dengan dioleskan pada bagian yang luka.
Dari binatang misalnya:
· Lendir siput untuk mengobati luka, yaitu dengan cara dioleskan pada bagian yang luka.
· Cacing sebagai obat tifus, yaitu dengan cara dimakan.
· Tokek sebagai obat gatal, yaitu dengan cara dimakan.
Tidak hanya itu mereka juga bisa memperkirakan cuaca sehingga dapat menetukan tanaman apa yang harus ditanam pada waktu-waktu tertentu. Kapan harus menebar bibit ikan di tambak, bagaimana cara merawatnya, kapan memanennya, dan bagaimana menjualnya.
2.5.6 Religi
Penduduk Desa Mojopurogede seluruhnya beragama Islam. Sehingga mereka selalu memperingati hari-hari besar agama Islam. Seperti peringatan Maulidur Rasul pada malam 12 Rabi’ul Awal yang dilakukan dengan membaca Shalawat Nabi di musholah atau masjid. Mereka yang datang ke musholah atau masjid membawa nasi ketan dan buah-buahan sebagai tanda kebahagiaan mereka akan kelahiran Nabi Muhammad saw.
Karena dahulu sebelum Islam masuk mereka menganut agama Hindu, sehingga sebagian dari mereka kadang masih mempercayai tentang roh-roh halus dan kekuatan mistis.
Misalnya, ketika mereka akan mengadakan hajatan mereka harus mendatangi dan meminta izin kepada makam-makam leluhur seperti makam Mbah Buyut Jeraganan (Raden Zaini), makam Dampu Awang, makam Buyut Kuno (Tawing), dan lainnya. Mereka mempercayai jika mereka tidak meminta izin, maka akan ada hambatan paada acaranya.
Selain itu mereka juga mempercayai bahwa ketika seseorang meninggal dunia. Rohnya masih berada di sekitar rumah itu selama 40 hari, sehingga mereka tidak akan membiarkan rumah itu kosong. Terkadang mereka juga menyiapkan kopi dan makanan yang disukai oleh yang meninggal.
Karena mereka percaya bahwa roh halus itu ada dan mereka juga mempercayai bahwa roh halus (iblis dan setan) setiap tahunnya akan beranak pinak. Sehingga pada minggu kedua bulan Safar tepatnya pada rabu malam, mereka mempercayai bahwa setan-setan beranak pinak pada hari itu. Oleh karena itu mereka berkumpul ke mushollah dengan membawa nasi muduk (nasi uduk) untuk berdoa bersama agar setan tidak beranak disekitar mereka. Mereka biasanya memasukkan sebuah kertas kedalam sumur rumah mereka agar sumur mereka tidak ditempati setan melahirkan anaknya. Acara ini disebut dengan Rabu Wekasan.
2.5.7 Kesenian
Kesenian yang dimiliki masyarakat Mojopurogede, bukanlah kesenian asli Mojopurogede. Melainkan kesenian umum yang mereka mainkan dengan gaya dan cirikhas mereka. Kesenian tersebut antara lain:
· Seni hadrah
· Samroh (qosidah rebana)
· Orkes Melayu New El Jaya Group
· IPSI (silat)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Desa Mojopurogede merupakan desa yang terletak di dataran rendah sehingga memungkinkan penduduk untuk memiliki berbagai macam mata pencaharian. Layaknya daerah desa-desa lain, Desa Mojopurogede juga memiliki sejarah dan berbagai macam kebudayaan sebagai ciri dari masyarakatnya.
Kebudayaan yang mereka dari tahun ke tahun terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan iptek. Namun perkembangan iptek menyebabkan kebudayaan tradisional mereka perlahan-lahan tergerus oleh kebudayaan modern yang cenderung kebarat-baratan.
3.2 Saran
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, mulai dari tingkat perdesaan sampai pada tingkat provinsi. Sehingga sudah patutlah bgi kita kiranya untuk berpartisipasi dan ikut serta dalam membangun dan menaga kebudayaan asli bangsa Indonesian sebagai ciri khas kita. Dan pada akhirnya kebudayaan tersebut bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan asing untuk datang ke Indonesia. Sehingga bangsa kita akan dikenal oleh setiap orang diseluruh dunia.